Oleh : Hardinal

 Hakim Tinggi PTA Pekanbaru

Kita agaknya sering mendengar, bahkan sudah familiar di telinga kita suatu ungkapan “Jeruk Makan Jeruk”, artinya jeruk yang satu menggerogoti jeruk yang lain. Apakah jeruk yang dimaksud adalah jeruk yang sejenis ataukah berbeda jenis. Mungkin juga jeruk yang berukuran besar atau sedang menyantap jeruk yang berbentuk kecil, semisal jeruk bali dengan jeruk nipis; wallahu a’lam bis shawab. Tapi pokok kajian tulisan ini bukan hendak mengupas masalah “perjerukan”. Cukuplah berupa iklan saja dan jangan sampai menjadi realita, walaupun pada kenyataannya peristiwa serupa pernah kita jumpa di depan mata di lingkungan kita berada.

Oh ya ! selain itu, di masa silam yakni ketika masih di bangku SR (Sekolah Rakyat), kalau sekarang SD (Sekolah Dasar) dimana dalam mata pelajaran Ilmu Hayat (sekarang Biologi), kita diajari untuk mengenal bermacam jenis hewan yang suka menggerogoti atau memangsai yang lain, ada jenis Herbivora adalah hewan berkaki empat pemakan tumbuhan, seperti sapidan kerbau. Karnivora adalah hewan berkaki empat pemakan daging, seperti harimau dan singa. Omnivora adalah hewan berkaki dua pemakan segalanya, seperti ayam dan burung. Sekarang, bagaimana bila Manusia juga berkaki duamenjadi pemakan segalanya, mungkin itulah yang disebut dengan Pestavora. Ketika manusia makan “segalanya”, konotasinya tentu terlalu berlebihan bila dinamai“saudara kembarnya ayam” atau “Manusia Serigala”, tapi cukuplah dikatakan manusia yang belum berada pada garis strata yang memfungsikan akalnya yang dituntun oleh syari’at untuk membedakan antara yang  hak dan yang batil, antara yang halal dan yang haram; padahal yang halal itu nyata adanya dan yang haram pun nyata pula. Manusia dalam posisi ini dapat dikatakan masih kental “persamaannya”dengan hewan. Manusia bermazhab Darwinisme, yang menganut paham Charles Darwin (1809-1882) pakar ilmu hayat Inggeris terkenal dengan teori evolusinya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling akhir sekali berubah dari bangsa yang lebih rendah darinya, yakni hewan.[1] Memang dalam Ilmu Manthiq dikenal ta’rif insan (manusia)الانسان حيوان ناطق :  (manusia adalah binatang yang berfikir).[2] Homo sapiens atau animal rational (binatang yang berfikir).[3] Sesungguhnya antara golongan fauna (hewan) dan insani (manusia) memiliki perbedaan yang sangat eksklusif. Manusia adalah makhluk Allah yang termulia selain memiliki bentuk (wujud) yang sempurna, kehidupan dengan daya reaksi dan naluri, ia (manusia) juga dilengkapi dengan fitrah keagamaan, akhlak dan daya fikir sebagai instrumen untuk dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, yang boleh dan yang terlarang, atau sesuatu yang halal dan yang haram. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat at-Tin ayat (4) : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian dalam surat al-Isra’ ayat (70) : Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dari kebanyakkan makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang sempurna.

Kalau dibawa ke tengah kehidupan masyarakat sosio-kultural, maka “Manusia Makan Segalanya”, bisa digambarkan pada tataran tindakan konkrit seperti seseorang yang melahap aneka makanan apa saja yang ia mau dengan tanpa menghiraukan ketentuan hukum syar’i yang telah menentukan sekat pemisah antara jenis makanan yang boleh dan yang  terlarang untuk dikonsumsi.

Kemudian, secara yuridis normatif di situ terjadi pula dua peristiwa, yakni peristiwa (perbuatan) hukum dan peristiwa (perbuatan) melawan hukum,  atau melakukan perbuatan yang dapat dibenarkan oleh hukum  di satu sisi dan perbuatan yang tidak dapat ditolerir oleh hukum di sisi yang lain. Khusus terhadap perbuatan atau tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum, nampaknya di Indonesia dewasa ini sudah merajalela dimana-mana, seperti mengkonsumsi narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif berbahaya lainnya), mengkonsumsi fulus negara alias korupsi, pembobolan anjungan ATM (Automated Teller Machine), mengkonsumsi PSK-PA (Penjaja Seks Komersial-Papan Atas) atau praktek prostitusi lainnya, inklud melampiaskan prilaku seks yang tidak wajar terhadap anak-anaksebagai pemegang tongkat estafet bangsa yang kini tengah merebak marak, bahkan sampai melakukan pembunuhan secara keji di luar batas kemanusiaan demi untuk menghilangkan jejak,atau tindakan makarmenghilangkannyawa orang lain secara berjamaah (tindak pidana pembunuhandenganmotif terselubung), menikmati kendaraan orang lain (curanmor/bil), meng-go-national-kan, bahkan meng-go-international-kan polusi udara (asap)yang kini rada-radanya sudah dihak-patenkan, karena hanya negara kita satu-satunyayang memilikicara mengeksplorasi asap dengan ketebalan tertentu secara manual, plus terjadiberulangkali dari tahun ke tahundan tidak sedikit bandar udara (bandara) dinyatakan lumpuh total beberapa minggu lamanya, sekolah-sekolah dinyatakan libur dalam limit waktu yang tidak terukur, serta negara jiran menjemput pulang warga dan tenaga kerjanya di ibu kota provinsi tertentu. Mungkin itu pulalah yang memotivasi beberapa negara jiran datang ingin berpartisipasi aktif ikut memadamkan pembakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan sistem water booming. Kita doakan semoga usaha pelumpuhan kobaran sijago merah itu berjalan lancar dan sukses dalam waktu yang tidak begitu lama, sembari kita berikar bersama untuk merajut kembali tali persabatan dengan alam. Sesungguhnya alam tidak pernah menyatakan meretas tali persahabatan dengan kita, akan tetapi kitalah yang mengusik tali persabatan itu serta mencoba untuk tidak bersahabat dengan alam. Tentunyamasih banyak lagi tindakan pelanggaran hukum lainnyayang perlu untuk diidentifikasi dan diantisipasi, mulai dari yang kecil hingga yang paling besar. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa  hukum  di Indonesia belum berfungsi secara optimal dan utuh, tujuan hukum belum tercapai sebagaimana yang hendak dicapai oleh hukum itu sendiri, yakni untuk menciptakan kedamaian (dalam Islam kedamaian di dunia dan akhirat). Hal itu memberi indikasibahwa Negara Indonesia adalah negara hukum[4] dimana hukumnya tengah  digerogoti oleh penyakit hukum.

Apabila “hukum” dihubungkan dengan “penyakit hukum” dapat dibedakan menjadi tiga jenis hukum, yaitu : Pertama, hukum yang hidup dan dalam kondisi sehat wal afiat, disebut dengan Living Law dimana hukum jenis ini berupa aturan hukum yang benar-benar di dalam realitasnya diimplementasikan secara optimal. Kedua, hukum yang tidur, yaitu aturan hukum yang tetap digunakan, tetapi tidak secara optimal, ibarat orang yang tengah terkantuk-kantuk, disebut dengan Sleeping Law. Ketiga, aturan hukum di mana dalam realitasnya sudah tidak digunakan lagi, namun tidak pernah dicabut. Hukum jenis ini disebut dengan hukum yang telah mati (Dead Law).[5]

Pertanyaannya, bagaimanakah kondisi hukum di Indonesia kurun ini? Apakah berada pada posisi jenis pertama, kedua atau pada jenis ketiga…!? Jawabannya menurut hemat penulis masih merupakan the big question mark (tanda tanya besar). Tentu saja menjadi tugas kita semua untuk menjadikan Indonesia ke depan benar-benar Negara hukum yang berdasarkan hukum dan melaksanakan hukum secara utuh dan komprehensif baik struktur, substansi maupun kultur hukum dan tidak memilah secara parsial. Karena menurut Lawrence Meir Friedman (salah seorang pakar hukum Inggeris) bilamana kita membahas tentang hukum dan sistem hukum di dalamnya senantiasa terdapat tiga komponen: (1).Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain;  (2). Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;  (3). Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.[6]

Bilamana konstitusi kita menyatakan bahwa Indonesia ialah Negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat) bermakna sistem  pemerintahan Negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar ialah lebih mengutamakan hukum secara komprehensif, bukan hanya law enforcement di dalam penyelenggaraan Negara. Maka disini perlu kita pahami kembali makna hukum yang sesungguhnya (hakikat hukum). Hukum itu abstrak, objek ilmu hukum adalah hukum itu sendiri dengan sifatnya yang abstrak. Ketika kita ingin memahami hakikat hukum, berarti yang dimaksud adalah memahami tiga komponen tersebut di atas secara bersama-sama, yang berkaitan sangat erat dengan fungsi dan tujuan hukum. Hubungan timbal balik dari kesemuanya itulah yang merupakan hakikat hukum.[7] Dengan demikian, apa saja yang kita bicarakan tentang hukum, tidak dapat tidak, harus dikaitkan dengan ketiga komponen tersebut, yaitu struktur, substansi dan kultur hukum secara bersama-sama dan seimbang. Menekankan hanya pada salah satu komponen dengan mengabaikan komponen lain, itulah salah satu penyakit yang diderita oleh hukum (penyakit hukum).[8]

Ketika Indonesia melepaskan diri dari era Orde Baru menuju era Remormasi termasuk reformasi di bidang hukum beberapa tahun yang silam,tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, maka reformasi hukum yang dituntut oleh bangsa Indonesia sesungguhnya adalah reformasi hukum secara komprehensif dengan maksud agar hukum yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang memiliki denyut nadi yang prima, sehat wal afiat yaitu hukum yang hidup (living law), bukan sleeping law, apatah lagi dead law. Mudah-mudahan ke depan hukum sebagaimana yang diharapkan dan dituntut untuk direformasi di Indonesia sesuai dengan hakikat hukum yang sesungguhnya, hukum yang tidak digerogoti oleh penyakit hukum. Semoga!

 


[1]Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat  Dan Islam Tentang Manusia Dan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal. 11

[2]Harun Rasyidi Pariamani, Mafatihul Fikriah fi Ilmu al-Manthiq, Pustaka Sa’diah, Bukittinggi, 1970, hal. 9

[3]Syahminan Zaini, Mengapa Manusia Harus  Beribadah, Al-Ikhlas, Surabaya, 1981, hal. 24

[4]Undang-Undang Dasar 1945 (Hasil Amandemen ketiga) Pasal 1 ayat (3)

[5]Bandingkan : Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 208-209

[6]Ibid, hal.  204

[7]Ibid, hal. 207

[8]Ibid

Catatan Keterangan :
1.Ungkapan “Jeruk Makan Jeruk” dipopulerkan oleh salah satu stasiun Televisi di Indonesia yang merupakan iklan komersil suatu produk.

2.Herbivora adalah hewan pemakan tumbuhan. Ciri-ciri hewan herbivora : berkaki empat, berdarah panas, hidup di daratan, vivipar (beranak), mamalia. Misalnya, sapi, kerbau, kuda, domba. Karnivora adalah hewan pemakan daging. Ciri-ciri hewan karnivora : Apabila mamalia : berkaki empat, gigi tajam, hidup di darat, ovipar (beranak). Contohnya singa, harimau, macan. Apabila hewan laut : berkembang biak secara ovovivipar, memiliki ukuran tubuh yang besar. terkecuali sejenis piranha. Contohnya ikan hiu. Apabila sejenis burung : memiliki cakar yang tajam dan paruh yang runcing. Contohnya burung elang. Omnivora adalah hewan pemakan segala. Ciri-ciri hewan omnivora : Berkembang biak secara ovipar, berdarah panas/dingin, mengerami telurnya, berkaki dua. Misalnya : Ayam, angsa, burung dan itik (Subjek : Biologi/Materi : Herbivora, Karnivora dan Omnivora dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas).

3.Pestavora, istilah dari penulis sendiri. Kata bakunya : Pestapora. Pesta : perayaan; perjamuan makan minum (bersuka ria dsb). Pesta pora : pesta besar; berpesta pora : berpesta besar; bersuka ria (makan minum, membagi barang curian, dsb). (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal.678-679).

4.Teori evolusi ialah anggapan ilmu bahwa jenis-jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada sekarang ini tidak lahir menurut ujudnya seperti yang sekarang ini. Dan manusia berasal dari bangsa yang lebih rendah, yakni hewan. Teori ini berpangkal dari Lamark (1744-1829, seorang Ahli Ilmu Hayat Perancis). Teori itu bersifat spekulatif atau pemikiran. Charles Darwin (1809-1882) pakar ilmu hayat Inggeris yang menjadikannya ilmiah dengan memberikannya data-data  (Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat  Dan Islam Tentang Manusia Dan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal. 11)

5.Negara jiran menjemput pulang warga dan tenaga kerjanya di ibu kota provinsi tertentu. Hal ini diberitakan oleh salah satu media lokal. Negara jiran yang berpartisipasi membantu pemerintah Indonesia memadamkan pembakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan sistem water booming adalah Malaysia, Singapura dan Australia.

{jcomments on}