Sidang Tidak Harus Duduk di Kursi Kayu
Oleh:
Faried Almaas, S.H.
Analis Perkara Peradilan PA Dumai
I. PENDAHULUAN
Beberapa tahun lalu, ruang-ruang sidang sempat senyap. Pandemi memaksa jarak, membatasi pertemuan fisik, dan membuat banyak proses hukum terhenti sementara. Namun keadilan tidak boleh ikut berhenti. Dari kondisi itulah banyak masyarakat mulai mengenal istilah "persidangan elektronik", sebuah metode baru yang memungkinkan proses hukum tetap berjalan tanpa tatap muka langsung.
Padahal, jauh sebelum krisis global itu datang, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah lebih dahulu meletakkan dasar-dasar digitalisasi peradilan melalui PERMA No. 3 Tahun 2018 dan PERMA No. 1 Tahun 2019. Pandemi hanya mempercepat transformasi yang sejak awal telah dirancang secara bertahap dalam regulasi nasional. Melalui berbagai peraturan tersebut, Mahkamah Agung menyusun fondasi sistem peradilan modern yang berbasis teknologi informasi, seiring dengan tuntutan zaman yang semakin cepat dan dinamis.
Salah satu bentuk nyatanya adalah sistem e-Court, sebuah layanan berbasis elektronik yang mempertemukan prinsip hukum klasik dengan kemajuan teknologi. E-Court bukanlah pengganti ruang sidang fisik, melainkan perluasan cara agar keadilan bisa menjangkau lebih banyak orang tanpa dibatasi ruang dan waktu. Sistem ini hadir bukan karena keadaan darurat semata, tetapi karena visi jangka panjang untuk membangun sistem peradilan yang inklusif, efisien, dan tetap menjunjung nilai-nilai keadilan.
Apa Itu e-Court?
E-Court adalah sistem layanan peradilan secara elektronik yang mencakup empat fitur utama:
1. e-Filing: Mendaftarkan perkara secara daring.
2. e-Payment: Membayar panjar biaya perkara secara elektronik.
3. e-Summons: Menyampaikan surat panggilan sidang melalui domisili elektronik yang terverifikasi.
4. e-Litigation: Menjalankan proses persidangan secara elektronik, termasuk jawab-menjawab, pembuktian, hingga pengucapan putusan.
Sistem ini dilandasi oleh Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, dan disempurnakan dengan PERMA No. 7 Tahun 2022. Aturan tersebut menjamin bahwa setiap tahapan persidangan elektronik tetap tunduk pada prinsip hukum acara, keterbukaan, dan asas keadilan.
Berdasarkan Pasal 3 PERMA No. 7 Tahun 2022, pengaturan administrasi perkara dan persidangan secara elektronik ini berlaku untuk jenis perkara:
- Perdata,
- Perdata Khusus,
- Perdata Agama,
- Tata Usaha Militer, dan
- Tata Usaha Negara.
Dengan kata lain, cakupan perkara yang bisa disidangkan secara elektronik sangat luas dan lintas lingkungan peradilan.
II. PEMBAHASAN
A. Mengapa e-Court Diperlukan?
Setiap zaman membawa tantangannya. Di tengah mobilitas masyarakat yang tinggi, jarak geografis yang luas, serta kebutuhan akan efisiensi waktu dan sumber daya, sistem manual yang sepenuhnya bergantung pada kehadiran fisik kerap menjadi kendala. Tidak sedikit pencari keadilan yang harus menempuh perjalanan jauh, menunggu berhari-hari hanya untuk mengikuti satu tahapan sidang yang bisa saja berlangsung dalam hitungan menit. Biaya transportasi, waktu yang tersita, hingga hambatan fisik seperti cuaca buruk atau kondisi kesehatan bisa menjadi tembok penghalang bagi masyarakat yang ingin mengakses keadilan.
Di sisi lain, pengadilan juga menghadapi tantangan administratif: tumpukan berkas, keterbatasan ruang sidang, serta kebutuhan akan sistem dokumentasi yang lebih tertib dan efisien. Dalam konteks ini, modernisasi sistem bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan.
Maka, e-Court hadir bukan untuk menghapus nilai-nilai klasik dalam persidangan, tetapi untuk menjawab kebutuhan akan layanan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana amanat Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui sistem elektronik, proses menjadi lebih ringkas, terintegrasi, dan terdokumentasi dengan baik. Hal ini juga secara tidak langsung mengurangi peluang praktik administratif yang tidak akuntabel.
Digitalisasi ini juga memperkuat transparansi. Misalnya, dalam Pasal 26 PERMA No. 7 Tahun 2022, pengucapan putusan secara elektronik yang diunggah dalam SIP (Sistem Informasi Pengadilan) dianggap sah sebagai pelaksanaan sidang terbuka untuk umum. Dengan kata lain, siapa pun tetap bisa memantau jalannya persidangan tanpa harus hadir langsung. Proses hukum tidak lagi berada di balik pintu tertutup, tetapi tersedia dalam sistem digital yang bisa diakses secara sah dan aman.
E-Court adalah jawaban dari kebutuhan zaman, cara Mahkamah Agung merangkul kemajuan teknologi, tanpa meninggalkan esensi keadilan itu sendiri.
B. Dari Pinggiran Negeri hingga Kota Besar
Bayangkan seorang ibu rumah tangga di pelosok yang ingin mengajukan gugatan hak waris. Jarak ke kantor pengadilan bisa memakan waktu dan biaya. Dalam situasi seperti ini, e-Court menjadi jembatan harapan. Ia dapat mendaftarkan gugatan dari rumah melalui gawai, menerima panggilan elektronik, hingga mengikuti proses persidangan daring dengan pendampingan yang tersedia di pengadilan setempat.
Begitu pula bagi mereka yang berada di kota besar dan memiliki mobilitas tinggi, e-Court membantu mempersingkat waktu dan mengurangi beban administratif yang selama ini dianggap rumit. Semua proses yang dulu harus dilakukan manual, kini bisa dilakukan dengan beberapa klik saja, tentu dengan tetap menjaga keabsahan hukum yang berlaku.
C. Keadilan Tak Lagi Terbatas Ruang
Persidangan elektronik bukanlah sekadar adaptasi teknologi, tetapi bagian dari reformasi peradilan yang menjunjung nilai transparansi dan efisiensi. Dalam Pasal 4 PERMA No. 7 Tahun 2022, disebutkan bahwa seluruh tahapan seperti penyampaian gugatan, jawaban, pembuktian, hingga putusan dapat dilakukan secara elektronik.
Jika tergugat tidak setuju dengan sidang elektronik, tetap ada skema yang disediakan, seperti pengumpulan dokumen melalui PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Dan jika tergugat tidak hadir meski telah dipanggil secara sah, persidangan tetap bisa berjalan dan diputus secara verstek, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (6) dan (7).
Ini menunjukkan bahwa meskipun berbasis daring, sistem tetap memastikan hak-hak para pihak dihormati dan proses hukum tidak terhenti hanya karena kendala teknis.
III. PENUTUP
Ruang sidang yang lebih terbuka, Masyarakat tidak perlu takut terhadap hal yang belum sepenuhnya dikenal. E-Court bukanlah "pintu rahasia" dalam peradilan, melainkan jendela baru yang memperluas akses menuju keadilan. Di tangan yang tepat, teknologi justru menjadi alat untuk menjangkau lebih banyak pencari keadilan tanpa mengorbankan transparansi maupun akuntabilitas.
Ke depan, penguatan literasi hukum publik akan menjadi kunci agar sistem ini tidak hanya diterapkan, tetapi juga dipahami. Karena keadilan bukan hanya soal putusan, tetapi tentang bagaimana prosesnya bisa diikuti dan dimengerti oleh semua.
“Transparansi hari ini tidak lagi berada di balik meja hakim. Ia kini hadir di ujung jari.”