Oleh: Sudarmono, S.H.I., M.H.[1]

  1. PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya persoalan hisab rukyah tidak hanya persoalan penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini penentuan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah).  Namun karena persoalan penentuan awal bulan Qamariyah ini lebih mempunyai greget  lebih berpotensi menimbulkan perbedaan  maka wajar jika ia lebih mendapatkan perhatian dan lebih dikenal  sebagai persoalan hisab rukyah dari pada persoalan lainnya. Berpijak pada alur logika tersebut agar tidak melebar maka penulis mengfokuskan pada penetapan/penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah).

Mengingat hal ini sangat berkaitan erat dengan kewajiban (ibadah), sehingga melahirkan sejumlah pendapat yang bervariasi. Dan bisa dikatakan aktual, karena hampir setiap tahun terutama menjelang tiba bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Persoalan ini selalu mengundang polemik yang berkepanjangan dan serius berkenaan pengaplikasian pendapat-pemdapat tersebut, sehingga nyaris mengancam persatuan dan kesatuan umat.[2]

Di indonesia sendiri belum ada aturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan awal bulan qomariyah, sementara organisasi masyarakat Islam di Indonesia mempunyai pandangan yang berbeda akan hal ini, sehingga setiap menjelang awal bulan Ramadhan dan Syawal masing-masing organisasi Islam tersebut mengeluarkan penetapan untuk kejelasan para anggotanya. Namun justru bukan kejelasan yang anggota masyarakat dapatkan namun tidak hanya sekali,duakali justru membingungkan. Ini terjadi karena masing-masing organisasi masyarakat tidak jarang mengeluarkan pendapat yang berbeda. Pemerintah melalui Menteri Agama melakukan sidang istbat setiap menjelang tiba bulan Ramadhan dan Syawal, dengan menghadirkan tokoh-tokoh organisasi Islam yang ada di Indonesia dan para ilmuan yang terkait dengan hisab rukyah, namun tidak serta-merta penetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah Cq. Menteri Agama diikuti oleh masyarakat pada umumnya, justru mengikuti penetapan yang dikeluarkan oleh pimpinan Ormasnya, Muhammadiyah misalnya, selalu mengambil sikap  berbeda ketika terjadi perbedaan penetapan antara Ormas Nahdhatul Ulama’ dan pemerintah.

 

  1. Perumusan Masalah

Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan penulis memfokuskan pada penetapan atau penetuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah yang terjadi di Indonesia dengan perumusan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana penetapan awal bulan qomariyah (Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah) menurut Hukum Islam.
  2. Bagaimana penetapan awal bulan qomariyah (Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah) di Indonesia.
  3. Bagaimana upaya pemerintah dalam menawarkan solusi untuk mengatasi perbedaan, ditinjau dari sosiologi hukum.

 

  1. PEMBAHASAN

 

  1. Penetapan Awal Bulan Qomariyah menurut Hukum Islam serta dasar hukumnya.

Awal bulan qomariyah memang harus di tetapkan, karena hal ini erat kaitanya dengan pelaksanaan ibadah yang harus kita lakukan. Dasar penetapan awal bulan Qomariyah ini antara lain firman Allah:

۞ يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ

 

Artinya: “ Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji (Al-Baqarah, 189)[3]

 

Telah diketahui bahwa jumlah bulan Qomariyah dalam satu tahun adalah 12 bulan,[4] sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat al-taubat ayat 36, bulan-bulan tersebut ada yang berisi 29 hari dan ada pula yang 30 hari. Ini dapat dilihat dalam hadis Nabi riwayat Bukhari dari Ibnu Umar yang berbunyi:

  • سعيد بن عمرو انه سمع ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال انا امة امية  لانكتب ولانحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرة تسعا وعشرين و مرة ثلاثين (رواه البخارى)[5]

Artinya: “ Kami adalah ummat yang ummi, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghitung/tidak tahu ilmu hisab. Bulan adalah sekian dan sekian. Maksudnya ada yang 29 hari dan adapula yang 30 hari’.

 

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi tidak mempergunakan Ilmu Hisab dalam menentukan awal bulan, tetapi juga tidak menunjukkan adanya larangan demikian. Sungguh suatu tindakan sangat bijaksana, mengingat waktu itu dikalangan masyarakat Arab Ilmu Hisab belum banyak berkembang.

Selain hadis diatas tersebut tidak kalah penting dan terkenal hadis yang sering dijadikan dasar dalam menetapkan bulan qomariyah yaitu:

  • نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان فقال : لا تصوم حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فان غم عليكم فاقدرواله (رواه البخارى)[6]

Artinya :” Dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwasannya Rosulallah saw menjelaskan bulan ramadhan kemudian belia bersabda: janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal dan (kelak) janganlah kamu berbuka hingga kamu melihatnya, jika tertutup awan maka perkirakanlah (HR. Bukhari)

Namun dalam riwayat yang lain yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Siti ‘Aisyah ada sedikit berbeda dalam matan hadist nya yaitu kurang lebih artinya sebagai berikut “ apabila tertutup awan maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari”.

Sehingga dari hadis tersebut diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sistem yang digunakan dalam menetapkan awal bulan Qomariyyah masih sederhanayaitu dengan Rukyat dan Istikmal:

Rukyah dalam arti Rukyatul Hilal yaitu melihat atau mengamati hilal pada saat matahari terbenam menjelang awal bulan Qomariyah dengan mata atau teleskop dalam astronomi dikenal dengan Observasi.[7]

Istikmal dalam arti penyempurnaan bilangan bulan Qomariyah menjadi tiga puluh hari (khususnya Sya’ban, Ramadhan, dan Zulqa’dah)[8]. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “ berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Bila hilal tertutup awan atasmu maka sempurnakanlah bilangan sya’ban menjadi tiga puluh”.

 

  1. Penetapan Awal bulan Qomariyah (Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah) di Indonesia.
  1. Pemikiran Hisab Rukyah Mazhab Rukyah.

Dalam wacana hisab rukyah di Indonesia, mazhab rukyah ini selalu diidentikkan dengan pemikiran hisab rukyah Nahdlatul Ulama. Namun pengidentikan ini kiranya tidak dapat diterima seratus persen kebenarannya. Karena pada dasarnya dalam mazhab rukyah ini terdapat perbedaandalam hal Mathla[9]

Ada yang berpendapat bahwa hasil rukyah disuatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Dengan argumentasi bahwa hadis-hadis hisab rukyah khitabnya ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan, pemikiran inilah yang terkenal dengan istilah Rukyah Internasional.

Disamping itu, ada pula yang berpendapat bahwa hasil rukyah disuatu tempat hanya berlaku bagi daerah kekuasaan penguasa yang mengisbatkan hasil rukyah tersebut. Pemikiran inilah terkenal dengan dengan istilah Rukyah fi wilayatil hukmi, sebagaimana yang selama ini dipegangi oleh Nahdhlatul Ulama’ secara institusi.[10]

 

  1. Pemikiran Hisab Rukyah mazhab Hisab

 

Di Indonesia sistem hisab yang berkembang setidaknya ada 3 yaitu:

  1. Hisab Urfi[11]

Hisab ini tak ubahnya seperti kalender Syamsiyah (miladiyah) bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap, sehingga sistem hisab ini tidak bisa dipergunakan untuk menetukan awal bulan qomariyah untuk pelaksanaan ibada (awal dan akhir ramadhan) karena menurut sistem ini umur bulan Sya’ban dan ramadhan adalah tetap, yaitu 29 hari untuk Sya’ban dan 30 hari untuk ramadhan.

  1. Hisab Haqiqi

Sistem hisab ini didasarkan kepada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah tetap dan juga tidak beraturan, melainkan kadang-kadang 2 bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, atau kadang-kadang pula bergantian seperti menurut perhitungan hisab urfi.

Dalam praktek perhitungannya, sistem ini mempergunakan data sebenarnya dari gerakan bulan dan bumi serta mempergunakan kaidah-kaidah  ilmu ukur segitiga bola atau trigonometris.[12]

Sistem hisab haqiqi dianggap lebih sesuai dengan yang dimaksud oleh syara’, sebab dalam prakteknya sistem ini memperhitungkan kapan hilal akan muncul atau wujud. Sehingga sistem hisab inilah yang dipergunakan orang dalam menentukan awal bulan yang ada kaitanya dengan pelaksanaan ibadah.

Dalam hisab haqiqi ini ada yang disebut haqiqi bi al taqrib dan haqiqi bi al tahqiq, yang membedakan adalah data yang digunakan.

  1. Hisab Kontemporer

Pada dasarnya hampir sama dengan hisab haqiqi yang membedakan adalah data yang ditampilkan sudah masak yang tinggal mengaplikasikan ke dalam rumus segitiga bola, tanpa harus diolah terlebih dahulu seperti yang dipakai oleh sistem hisab sebelumnya.

 

  1. Persoalan Seputar Penetapan Awal bulan Qomariyah di Indonesia

Hisab dan Rukyah adalah bersifat Ijtihadiyah, sehingga memungkinkan terjadinya keragaman. Baik hisab maupun rukyah sama-sama berpotensi benar dan salah. Bulan dan matahari yang dihisab dan dirukyah masing-masing memang satu. Hukum alam yang mengatur gerakanya pun satu. Sunnatullah, tetapi interpretasi orang atas hasil hisab bisa beragam, lokasi pengamatan dan keterbatasan pengamat juga tidak mungkin disamakan.[13]

Ada beberapa hal yang menjadikan perbedaan penetapan awal bulan Qomariyah, Diantaranya:

  1. Perbedaan antara hisab dan rukyah

Dalam penentuan awal bulan terdapat kelompok masyarakat yang berpedoman pada hisab dan kelompok yang berpedoman pada rukyah. Kedua kelompok ini sangat sulit untuk disatukan karena mempunyai argumen fiqh yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataanya, perbedaan tersebut tidak selamanya menimbulkan perbedaan dalam memulai puasa dan berhari raya. Bahkan ada kecenderungan sangat sedikit kasus perbedaan yang dipicu oleh perbedaan yang ditimbulkan oleh perbedaan hisab dan  rukyah ini.

  1. Perbedaan dikalangan hisab sendiri

Dikalangan hisab sendiri ada beberapa kriteria yang dipakai muhammadiyah misalnya kriteria hisab yang dipakai adalah wujudul hilal,[14] sedangkan Ormas Islam Persisi (Persatuan Islam) dalam hisabnya memakai kriteria Imkan Rukyah, yaitu selain memperhitungkan wujudnya hilal diatas ufuk, pelaku hisab juga memperhitungkan faktor-faktor lain yang memungkinkan terlihatnya hilal, seperti ketinggian hilal, diperhitungkan pula kuat cahaya hilal.

  1. Siapakah yang berhak menetapkan awal bulan Qomariyah

Penetapan awal bulan Qomariyah adalah bersifat ijtihadiyah, artinya kebenaran yang ada bersifat dugaan. Rukyah seseorang hanya berlaku bagi dirinya dan mereka yang mempercayainya. Demikian juga hasil hisab seseorang hanyalah berlaku bagi dirinya dan mereka yang mempercayainya. Artinya kedua hal ini tidak berlaku untuk masyarakat umum. Mengingat hal ini merupakan persoalan umum, atau hukum islam yang bercorak kemasyarakatan, maka jika dibiarkan sebagaimana adanya dan setiap orang boleh memilih masing-masing, tentu kebingungan dan kesimpang siuran dalam masyarakat tidak dapat dihindari.

Hukum Islam telah mengatur bahwa dalam persoalan yang bersifat kemasyarakatan perlu dan dibenarkan campur tangan pemerintah. Hal ini ditegaskan dalam kaedah yang populer, ”Hukmul Hakim ilzam wa yarfa’ul khilaf”. Keputusan Hakim/pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan pendapat. Oleh karena penetapan awal/akhir bulan Qomariyah khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah merupakan persoalan fiqh yang bersifat kemasyarakatan, maka demi tercapainya kemaslahatan umum, keseragaman dan persatuan umat, pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Agama perlu turut campur tangan dan inilah satu-satunya yang berwenang menetapkan serta mengumumkan awal akhir Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah kepada masyarakat.[15]

Untuk menguatkan analisa tersebut berikut dipaparkan beberapa dasar hukum terkait, baik yang yang bersumber dari regulasi formil yang mengaturnya maupun bersumber dari kajian tektualitas keislaman lain seperti :

  1. Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang penentuan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah menyatakan bahwa seluruh umat islam di Indonesia wajib mentaati ketetapan Pemerintah RI tentang Penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
  2. Madzhab Syafi’I mensyaratkan bahwa penetapan (itsbat) awal bulan qamariah, khususnya awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah harus oleh dilakukan oleh Pemerintah/Qadli dan umat Islam wajib untuk mentaatinya.
  3. Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali tidak mensyaratkan itsbat oleh Pemerintah/qadli, tetapi jika pemerintah telah menetapkannya maka umat Islam wajib mengikuti dan mentaatinya.
  4. Abstraksi hukum dari apa yang tertuang pada al-Qur’an pada surat an-Nisa, ayat (59) yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya).”
  1. Upaya Pemerintah dalam penentuan awal bulan Qomariyyah (Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah) ditinjau dari sosiologi hukum.

Pemerintah melalui Kementerian Agama dalam hal ini bagian Ditjen Bimas Islam yang salah satu tugasnya adalah pembinaan “Hisab-Rukyat” tentu saja sangat berkepentingan untuk berperan menjembatani beberapa perbedaan yang berkembang dimasyarakat.

Secara umum ada beberapa langkah sebagai bagian kebijakan pemerintah yang sudah dijalankan dalam menyikapi persoalan umat Islam terkait perbedaan ini, antara lain adalah :

  1. Menghimpun seluruh pendapat dari berbagai elemen masyarakat, baik itu pendapat ulama, para ahli, ormas Islam, dan instansi terkait dalam masalah hisab rukyat ini seperti Perguruan Tinggi dan Badan Meteorologi dan Geofisika/Planetarium ;
  2. Mengembangkan ilmu hisab dan rukyat melalui institusi pendidikan Islam ;
  3. Membentuk Badan Hisab Rukyat (BHR) dan melaksanakan musyawarah/pertemuan yang mengkaji tentang masalah hisab rukyat melalui kegiatan atau program kerja Bimas Islam Kementrian Agama ;
  4. Menyelenggarakan pelatihan bersama dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang berkompeten ;
  5. Melakukan rukyatul hilal secara bersama dengan dikoordinir oleh Kanwil Kementrian Agama Provinsi atau kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia ;
  6. Menyusun dan menyebarkan buku, almanak, dan sebagainya ;
  7. Melakukan kerjasama dalam dan luar negeri.

Selain menetapkan kebijakan umum sebagaimana disebutkan di atas, pemerintah juga telah menetapkan prosedur penetapan awal bulan qomariah sebagai berikut:

1.Mekamisme Rukyatul Hilal

  • Pelaksanaan kegiatan rukyatul hilal oleh pemerintah melalui Kantor wilayah  Kementrian Agama Provinsi atau kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sebagai koordinatornya dilakukan dengan mekanisme atau prosedur sebagai berikut :Ditjen Bimas Islam Kementrian Agama memerintahkan kepada Kanwil Kementrian Agama Provinsi atau kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia selaku koordinator penyelenggaraan pelaksanaan rukyat di daerah masing-masing, untuk segera melaksanakan rukyatul hilal menjelang awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah ;
  • Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah seluruh Indonesia sebagai tenaga ahli dan petugas menyumpah saksi rukyatul hilal untuk menyaksikan pelaksanaan rukyatul hilal ;
  • Kegiatan rukyatul hilal harus dilakukan bersama dengan Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah, instansi terkait, perwakilan ormas Islam, tokoh agama, ahli hisab rukyat dan masyarakat luas di tempat-tempat strategis atau di tempat yang dimungkinkan hilal dapat terlihat ;
  • Masyarakat yang ingin melakukan kegiatan rukyatul hilal dapat bergabung dengan Panitia Rukyat pada Kanwil Kementrian Agama Provinsi atau kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota di daerah masing-masing, dan diharapkan untuk tidak membuat tempat rukyat sendiri tanpa sepengetahuan Kanwil Kementrian Agama Provinsi atau kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota setempat ;
  • Laporan kegiatan hasil rukyat dari Panitia Rukyat daerah dan masyarakat luas sesegera mungkin disampaikan kepada Panitia Rukyat dan Istbat awal Ramadhan, Syawal, atau Dzulhijjah di Kementrian Agama RI (Pusat)

2. Mekanisme Penetapan (istbat)

Mekanisme penetapan itsbat ini adalah sebagai berikut :

  • Sidang Itsbat diawali dengan pemaparan rangkuman hasil hisab dari para ahli, posisi hilal, dan simulator rukyatul hilal ;
  • Setelah laporan rukyatul hilal dari seluruh Indonesia di terima, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan saran dan pendapat dari para peserta sidang ;
  • Hasil yang disepakati adalah yang terbaik dan mengandung maslahah dengan prinsip menjunjung tinggi musyawarah, menghormati sikap perbedaan pendapat, kebersamaan, dan demokratis ;
  • Kesepakatan bersama tersebut ditetapkan sebagai keputusan pemerintah tentang penetapan tanggal 1 Ramadhan, tanggal 1 Syawal, atau tanggal 1 Dzulhijjah.

Upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah melalui kemeterian Agama tersebut, kalau kita kaitkan dengan kajian sosiologi hukum dimana hukum sebagai sosial kontrol yang diartikan sebagai suatu proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.[16] Maka seharusnya upaya tersebut kita ikuti dan laksanakan demi kesatuan ummat.

Akan tetapi karena tidak adanya sanksi dalam upaya yang dibuat oleh pemerintah tersebut maka ini belum disebut sebagai sebuah hukum, karena menurut John Austin,dalam teori hukum positivisme, untuk dapat disebut hukum diperlukan adanya 4 unsur, yaitu pertama adanya seorang penguasa, kedua suatu perintah, ketiga kewajiban untuk mentaati, keempat sanksi bagi mereka yang tidak mentaati.[17] Sehingga antara yang yang mengikuti hasil istbat (penetapan) pemerintah dan yang mengabaikan terkesan sama saja, karena upaya yang dibuat oleh pemerintah dalam hal hisab rukyah tersebut merupakan bagian dari norma-norma yang belum menjadi norma hukum. sementara norma hukumlah yang dapat dipaksakan dengan sanksi oleh negara, sedangkan norma-norma lainnya sebelum disahkan oleh lembaga yang berwenang belum dapat disebut sebagai hukum.[18]

  1. PENUTUP
  1. Kesimpulan

Dari pembahsan tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Menurut hukum Islam dalam menetapkan awal bulan Qomariya sebenarnya sangat sederhana yaitu dengan metode rukyah dan dengan metode istikmal/menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari.
  2. Di Indonesia dalam menetapkan awal bulan Qomariyyah terjadi dikotomi mazhab yang nyata sangat susah untuk disatukan, yaitu mazhab hisab dan mazhab rukyah. Meskipun sebenarnya kalau kita amati sebenarnya antara keduanya bisa digabungkan. Jangankan mempersatukan hisab dan rukyah, dalam mazhab hisab sendiri menggunakan kriteria yang berbeda-beda. Muhammadiyah misalnya menggunakan kriteria wujudul hilal, sementara Persis (persatuan Islam) yang sama-sama dalam mazhab hisab menggunakan kriteria imkanur rukyah (kemungkinan hilal bisa di rukyah). Sementara dari dua kriteria tersebut memang  bisa menghasilkan hasil yang sama, namun bisa juga menghasilkan hasil yang berbeda yaitu ketiha irtifaul hilal (ketinggian hilal) diatas 0 derajat tetapi dibawah 2 derajat.
  3. Pemerintah melalui Kementerian Agama sudah berupaya untuk memberikan solusi atas perbedaan yang mungkin akan timbul, melalui mekanisme rukyah maupun mekanisme istbat (penetapan), namun ternyata tidak bisa menjamin akan terjadi kata sepakat untuk bersatu tetapi justru terkesan sepakat untuk berbeda, ini dikarenakan upaya yang dibuat oleh pemerintah tidak mengandung sanksi bagi yang tidak mengikutinya, sehingga penetapan pemerintah tersebut hanya sebatas bagian dari norma-norma yang belum menjadi norma hukum.

 

  1. Saran
    1. Hendaknya Ormas Islam di Indonesia jangan mengeluarkan penetapan kecuali penetapan hasil sidang istbat kementerian agama;
    2. Bagaimanapun keputusan Menteri Agama dalam sidang itsbat merupakan acuan yang harus ditaati oleh seluruh warga. Formulasi penyatuan perspektif  yang ditawarkan Pemerintah dengan format kekuasaan Itsbat berpeluang untuk dapat diterima oleh semua pihak, keputusan yang di ambil berupaya untuk mengakomodir semua madzhab yang semestinya dapat diterima dan diikuti oleh semua pihak.  Ini sejalan dengan qowaidul fiqhiyyah yang artinya “ ketetapan hakim/pemerintah adalah mengikat dan menghilangkan perbedaan”.
    3. Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan kembali, apakah sekedar menjadikan hasil iszbat (penetapan) sebagai norma agama saja atau kemudian menjadikannya sebagai norma hukum, sehingga bisa diberikan sanksi terhadap orang atau sekelompok orang yang tidak mau melaksanakannya.

 

 

  1. DAFTAR KEPUSTAKAAN
    1. Buku-buku

Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia, Alinea Printika, Yogyakarta 2003.

 

Departeman Agama RI, Al Qur'an dan terjemahannya, CV Penerbit Jumanatul Ali-ART, Bandung;  2005.

 

Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta, 2004.

 

Muhammad ibn Isma’il al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, Beirut; Dar al Fikr, tt.

 

Marwan Effendy, Teori Hukum dari perspektif kebijakan, perbandingan dan harmonisasi hukum pidana, Gaung Persada Press Group, Jakarta, 2014.

 

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2012

 

Susiknan Azhari, Ensiklopedia Hisab Rukyat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

 

Thomas  Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi (Telaah  Hisab Rukyah dan Pencarian Solusi Perbedaan hari raya), Bandung: Kaki Langit, 2005.

 

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014

 

  1. Artikel dan Jurnal

Ibrahim Hosen, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Awal Bulan Ramadhan Syawal dan Dzulhijjah, dalam bukuSelayang Pandang Hisab Rukyat, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Peradilan Agama:Jakarta, 2004.

 

 

 

[1] Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Rengat Kelas 1B

[2] Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia, Alinea Printika, Yogyakarta 2003, hlm. 2

[3] Departeman Agama RI, Al Qur'an dan terjemahannya, CV Penerbit Jumanatul Ali-ART, Bandung;  2005, hlm. 91

[4] Yaitu Muharram, Shafar, Rabiul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadal Ula, Jumadal Akhirah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, DzulQa’dah, dan Dzulhijjah, lihat Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta, 2004, hlm. 112

[5] Muhammad ibn Isma’il al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, Beirut; Dar al Fikr, tt, hlm. 34

[6] Ibid, hlm. 35

[7] Susiknan Azhari, Ensiklopedia Hisab Rukyat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 130

[8] Ibid, hlm. 80

[9] Mathla’ yaitu tempat terbitnya benda-benda langit dalam bahasa inggris disebut Rising Place. Sedangkan dalam istilah falak mathla’ adalah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya hilal atau dengan kata lain mathla’ adalah batas geografis keberlakuan rukyah, Ibid, hlm. 100.

[10] Ahmad Izzuddin, Op. Cit. Hlm.76.

[11] Yaitu sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab ini dimulai sejak ditetapkan oleh Kholifah Umar bin Khattab (17 H) Susiknan Azhari, Op.Cit, hlm. 66.

[12] Susiknan Azhari, Op. Cit. Hlm. 64

[13] Thomas  Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi (Telaah  Hisab Rukyah dan Pencarian Solusi Perbedaan hari raya), Bandung: Kaki Langit, 2005, Hlm.41

[14] Secara harfiyah berarti hilal telah wujuh. Sedangkan menurut ilmu falak adalah matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan (meskipun hanya selisih satu menit atau kurang) lihat Susiknan Azhari, Op.Cit, hlm. 172

[15] Lihat Artikel Ibrahim Hosen, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Awal Bulan Ramadhan Syawal dan Dzulhijjah, dalam buku  Selayang Pandang Hisab Rukyat, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Peradilan Agama:Jakarta, 2004, hlm. 144-145

[16] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm, 22.

[17] Marwan Effendy, Teori Hukum dari perspektif kebijakan, perbandingan dan harmonisasi hukum pidana, Gaung Persada Press Group, Jakarta, 2014, hlm. 21.

[18] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 273-274