“Marriage is Scary”, Mengapa Perempuan Ragu Menikah di Tengah
Norma Hukum yang Tidak Setara?
Oleh:
Faried Almaas, S.H.
Analis Perkara Peradilan PA Dumai
Abstrak
Fenomena “marriage is scary” mencerminkan keresahan perempuan terhadap sistem pernikahan yang dianggap sarat beban, ketimpangan, dan minim perlindungan hukum. Salah satu narasi yang paling sering muncul adalah konsep “istri wajib patuh kepada suami” yang tertulis dalam undang-undang maupun norma sosial keagamaan. Artikel ini membedah bagaimana hukum perkawinan di Indonesia, terutama Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), masih mereproduksi relasi kuasa yang timpang antara suami dan istri, serta bagaimana hal ini berkontribusi terhadap ketakutan perempuan untuk menikah.
Kata Kunci: marriage is scary, istri wajib patuh, hukum perkawinan, ketimpangan gender, UU PKDRT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah “marriage is scary” menjadi fenomena yang semakin ramai digaungkan, khususnya di kalangan perempuan muda, baik di media sosial, forum daring, maupun diskusi komunitas. Ungkapan ini bukan sekadar bentuk ketakutan terhadap komitmen, tetapi menjadi simbol kegelisahan kolektif perempuan terhadap sistem pernikahan yang dianggap tidak setara. Ketakutan ini tidak semata-mata lahir dari ketidaksiapan emosional, psikologis, atau ekonomi, tetapi juga sebagai reaksi terhadap pengalaman baik langsung maupun tidak langsung melihat bagaimana perempuan kehilangan kontrol, kebebasan, dan ruang untuk berkembang setelah menikah.
Banyak perempuan menyaksikan ibu, kakak, atau teman perempuannya terjebak dalam relasi rumah tangga yang timpang: beban domestik yang tidak terbagi, pengambilan keputusan yang sepihak, bahkan perlakuan kasar yang dibiarkan karena dianggap sebagai urusan pribadi. Mereka mulai menyadari bahwa pernikahan tidak selalu menjadi ruang aman, apalagi ketika norma sosial masih melanggengkan posisi istri sebagai pihak yang harus “melayani” dan “patuh” tanpa syarat.
Narasi “istri wajib patuh kepada suami” bukan hanya hidup dalam budaya patriarkal masyarakat, tetapi juga masih tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Ketika hukum sendiri menegaskan dominasi suami sebagai kepala keluarga dan mewajibkan ketaatan istri, maka ketimpangan relasi menjadi sesuatu yang dilegalkan. Di tengah semangat zaman yang menuntut kesetaraan gender dan otonomi perempuan, keberadaan norma hukum seperti ini justru melahirkan ketidaktertarikan dan rasa takut terhadap sistem pernikahan.
Artikel ini berusaha menelusuri bagaimana narasi “istri wajib patuh” terbentuk, dilembagakan, dan dipertahankan melalui hukum positif Indonesia, serta bagaimana hal tersebut berkontribusi terhadap ketakutan perempuan untuk menikah. Penulisan ini juga menjadi upaya reflektif terhadap kebutuhan reformasi hukum yang lebih progresif dan responsif terhadap kesetaraan gender dalam ranah perkawinan.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana konstruksi narasi "istri wajib patuh" dalam hukum perkawinan Indonesia?
- Apakah ketentuan hukum tersebut berdampak pada persepsi negatif perempuan terhadap pernikahan?
- Apa alternatif pendekatan hukum dan sosial yang dapat merespons fenomena marriage is scary?
C. Tujuan Penulisan
- Mengkaji relasi kuasa dalam ketentuan hukum perkawinan yang menyuburkan narasi subordinasi istri.
- Menganalisis kaitan antara ketentuan tersebut dan ketakutan perempuan terhadap institusi pernikahan.
- Memberikan rekomendasi pembaruan hukum dan edukasi sosial berbasis kesetaraan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa "suami adalah kepala keluarga dan istri wajib taat kepada suami." Meskipun telah ada revisi lewat Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 yang menambahkan prinsip kesetaraan, pasal ini tetap bertahan. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 80 menyatakan bahwa istri wajib memberikan pelayanan yang menyenangkan kepada suami dan mengatur urusan rumah tangga. Norma-norma ini mengindikasikan bahwa hukum masih melegitimasi relasi vertikal antara suami dan istri.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) memang memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan, namun pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala struktural dan kultural. Banyak perempuan tidak melaporkan karena tekanan sosial, ketergantungan ekonomi, serta anggapan bahwa konflik rumah tangga harus diselesaikan secara privat.
III. PEMBAHASAN
A. Narasi “Istri Wajib Patuh” dalam Peraturan Hukum
Narasi “istri wajib patuh” dalam konteks hukum perkawinan Indonesia tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga mengandung kekuatan normatif yang dapat memengaruhi praktik kehidupan rumah tangga secara nyata. Ketentuan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “suami adalah kepala keluarga dan isteri wajib taat kepada suami.” Kalimat ini, meskipun terlihat sederhana, menempatkan relasi suami istri dalam posisi hierarkis, yang secara tidak langsung menurunkan posisi perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Di dalam praktiknya, banyak perempuan yang merasa tidak memiliki ruang untuk menegosiasikan peran dan haknya, karena hukum sendiri tidak memberi pijakan yang adil.
Bahkan setelah adanya revisi melalui UU No. 16 Tahun 2019 yang memperkuat prinsip kesetaraan antara suami dan istri, pasal mengenai ketaatan istri tetap bertahan dan menciptakan ambiguitas dalam implementasinya. Ketidakkonsistenan ini memperlihatkan bahwa meskipun semangat undang-undang berubah, substansi patriarkal masih melekat kuat.
Demikian pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 80 memuat kewajiban istri untuk “memberikan pelayanan yang menyenangkan kepada suami” serta bertanggung jawab atas urusan rumah tangga. Ketentuan ini mengafirmasi pembagian peran gender tradisional yang menempatkan perempuan dalam posisi domestik dan pelayanan, tanpa memberikan ruang yang setara dalam kepemimpinan rumah tangga. Ketentuan ini tidak menyebut secara eksplisit bahwa keputusan-keputusan penting dalam rumah tangga harus didasarkan pada musyawarah atau diskusi bersama.
B. Fenomena “Marriage is Scary” dan Ketimpangan Gender
Fenomena “marriage is scary” yang banyak disuarakan di media sosial merupakan cerminan dari kegelisahan kolektif perempuan terhadap institusi pernikahan yang dianggap penuh ketimpangan. Ketakutan ini lahir dari kenyataan bahwa perempuan kerap berada dalam posisi rentan baik secara emosional, ekonomi, maupun hukum setelah menikah. Banyak perempuan menyadari bahwa pernikahan bisa menjadi medan dominasi dan kontrol, alih-alih ruang yang aman dan setara.
Data dari Komnas Perempuan (2023) menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Hal ini memperkuat argumen bahwa pernikahan tidak otomatis memberikan perlindungan, justru dapat menjadi tempat terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Menariknya, data BPS tahun 2024 menunjukkan peningkatan persentase perempuan usia 25–44 tahun yang berstatus kawin dan menjadi kepala rumah tangga di wilayah perkotaan, dari 20,49% (2022) menjadi 24,01% (2024). Meskipun sekilas tampak sebagai indikasi pemberdayaan, angka ini juga bisa dibaca sebagai refleksi atas perubahan peran perempuan dalam struktur keluarga, di mana mereka mengambil alih posisi kepala rumah tangga entah karena kebutuhan ekonomi, absennya peran suami, atau karena memilih jalur hidup yang lebih mandiri.
Ketakutan perempuan terhadap pernikahan juga dipengaruhi oleh pengalaman kolektif melihat bagaimana perempuan di sekitarnya harus mengorbankan pendidikan, karier, dan kebebasannya demi mempertahankan hubungan yang tidak setara. Banyak perempuan yang menolak hidup dalam struktur yang menempatkan mereka sebagai pihak yang harus selalu mengalah, mengurus, dan melayani. Maka dari itu, wacana “marriage is scary” bukanlah bentuk penolakan terhadap cinta atau komitmen, melainkan bentuk kritik terhadap sistem yang belum berpihak secara adil.
C. Tantangan Implementasi UU PKDRT
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) merupakan tonggak penting dalam perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Undang-undang ini mengakui kekerasan dalam rumah tangga sebagai pelanggaran hukum dan memberikan landasan hukum bagi perempuan untuk mendapatkan keadilan. Namun, dalam praktiknya, masih banyak tantangan dalam implementasi UU ini.
Salah satu tantangan terbesar adalah rendahnya tingkat pelaporan. Banyak perempuan korban KDRT enggan melapor karena takut dikucilkan, tidak mendapat dukungan dari keluarga, atau tidak percaya pada sistem peradilan. Dalam masyarakat yang masih memandang urusan rumah tangga sebagai ranah privat, perempuan sering kali dibebani dengan anggapan bahwa mereka harus sabar dan menjaga keharmonisan rumah tangga bagaimanapun keadaannya. Hal ini membuat banyak kekerasan tidak terdeteksi dan tidak ditangani secara hukum.
Selain itu, akses terhadap layanan pendampingan hukum dan psikologis masih belum merata. Di beberapa daerah, korban KDRT kesulitan mengakses bantuan hukum atau rumah aman. Hal ini diperburuk dengan keterbatasan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender secara sensitif dan berpihak pada korban.
Dalam konteks ini, ketakutan perempuan terhadap pernikahan menjadi semakin beralasan. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung, dalam praktiknya belum mampu memberikan rasa aman yang nyata. Jika negara ingin mendorong perempuan untuk percaya pada lembaga pernikahan, maka hukum harus tampil lebih progresif, berpihak, dan berani menghapus norma-norma yang menormalisasi ketimpangan relasi gender.
IV. KESIMPULAN
Ketakutan perempuan terhadap pernikahan bukanlah bentuk histeria, kelemahan emosional, atau penolakan terhadap sistem keluarga secara mutlak. Sebaliknya, ini adalah bentuk kesadaran kritis terhadap struktur sosial dan hukum yang belum sepenuhnya menjamin keamanan, kesetaraan, dan keadilan dalam relasi pernikahan. Fenomena "marriage is scary" harus dibaca sebagai cerminan dari pengalaman kolektif perempuan dalam menghadapi sistem yang masih menyisakan bias gender dan relasi kuasa yang timpang.
Hukum yang masih memuat narasi "istri wajib patuh" tidak hanya kehilangan relevansinya di tengah tuntutan zaman, tetapi juga berpotensi melegitimasi kekerasan dan dominasi dalam rumah tangga. Pasal-pasal yang menempatkan perempuan pada posisi tidak sejajar atau di bawah, baik dalam UU Perkawinan maupun KHI, tidak lagi sesuai dengan prinsip kesetaraan gender yang dijamin dalam konstitusi dan norma hak asasi manusia.
Untuk itu, reformasi hukum harus diarahkan pada penghapusan norma-norma diskriminatif serta penyusunan ulang ketentuan hukum keluarga yang menekankan kemitraan sejajar antara suami dan istri. Selain itu, edukasi pranikah harus ditransformasi dari sekadar pembekalan teknis menjadi proses pembelajaran hak, tanggung jawab, dan relasi yang sehat dalam rumah tangga.
Lebih jauh, penguatan pemahaman masyarakat bahwa pernikahan bukan tempat dominasi, tetapi arena saling mendukung, menghargai, dan bertumbuh bersama harus menjadi agenda penting dalam pembangunan sosial dan hukum di Indonesia. Ketika perempuan merasa aman, dihargai, dan setara di dalam rumah tangga, maka pernikahan tak lagi menjadi momok yang ditakuti, melainkan kembali menjadi pilihan yang hangat, yang penuh harapan, sebuah rumah yang benar-benar bisa disebut pulang.
Daftar Pustaka
Republik Indonesia. (1974). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Republik Indonesia. (2019). Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991.
Republik Indonesia. (2004). UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Komnas Perempuan. (2023). Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan.
Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Sosial dan Kependudukan Indonesia.