Oleh:
Faried Almaas, S.H.
Analis Perkara Peradilan PA Dumai
Luka yang Senyap
Tidak semua luka tampak di permukaan. Tidak semua tangisan terdengar keluar dari dinding rumah. Dan tidak semua perempuan yang diam, berarti mereka ikhlas menjalani kekerasan yang datang dari orang yang dulu mereka sebut “teman hidup”.
Di balik data kekerasan rumah tangga yang tercatat, masih ada ribuan kisah yang tak pernah ditulis. Perempuan yang memilih diam karena malu, karena takut, karena merasa tidak akan dipercaya. Mereka hidup berdampingan dengan luka, tapi tetap memasak setiap pagi, tetap menyiapkan seragam anak, tetap menyapa tetangga dengan senyum tipis seolah tidak terjadi apa-apa. Masyarakat mengira rumah itu baik-baik saja. Padahal, di dalamnya, seorang perempuan sedang belajar bertahan dari hari ke hari.
Dan sering kali, perempuan-perempuan itu bukan tidak tahu bahwa yang mereka alami adalah bentuk kekerasan. Mereka hanya terlalu lama diyakinkan bahwa luka itu bagian dari “tanggung jawab rumah tangga”, dan bahwa suami sekalipun menyakitinya tetap harus dihormati. Di sinilah sistem sosial yang keliru terus memperpanjang penderitaan mereka dalam sunyi.
Perempuan yang Diam, Bukan Karena Tak Terluka
Sebagai petugas layanan perkara, aku sering menjumpai berbagai alasan perceraian, seperti perselingkuhan, tidak ada kecocokan, tidak diberi nafkah. Tapi ada satu peristiwa yang sampai hari ini masih menempel di ingatan, bukan karena dokumen yang ia bawa, tapi karena luka yang begitu jelas terlihat di wajahnya.
Siang itu, seorang perempuan datang mendaftar perkara cerai gugat. Ia mengenakan kerudung lebar dan menunduk hampir sepanjang waktu. Begitu ia mendekat ke meja pelayanan, aku terdiam sejenak. Mata kanannya bengkak, memar biru gelap, dan bola matanya tampak merah seperti berdarah, bukan karena menangis, tapi karena pukulan yang mungkin baru saja ia terima. Tak ada yang ia sembunyikan, karena memang sudah tak mungkin disembunyikan.
Saat aku bertanya perihal kelengkapan berkas, suaranya pelan, nyaris berbisik. Tidak ada kalimat heroik yang keluar dari mulutnya. Ia tidak bilang ingin selamat, atau ingin memulai hidup baru. Ia hanya mengucapkan kata-kata seperlunya. Tapi dari caranya duduk, dari cara ia menarik napas panjang sebelum menjawab, aku tahu bahwa hari itu ia sedang memikul beban yang beratnya tidak bisa dibagi ke siapa pun.
Yang paling menyentuh adalah saat semuanya selesai, ia merapikan map transparannya dengan ragu, lalu berkata sangat pelan, “Maaf ya, saya merepotkan.” Kalimat itu menghantam. Seolah-olah menyelamatkan diri sendiri adalah bentuk menyusahkan orang lain. Seolah-olah ia tak berhak merasa berharga.
Saat itulah aku benar-benar paham, bahwa luka akibat kekerasan bukan hanya tentang memar di wajah, tapi juga tentang bagaimana seseorang bisa kehilangan keyakinan bahwa dirinya layak untuk hidup tenang, tanpa rasa takut, tanpa rasa bersalah karena memilih bertahan hidup.
Tekanan Sosial dan Sunyi yang Mematikan
Banyak perempuan korban KDRT memilih diam bukan karena mereka tak tahu haknya, tapi karena tekanan sosial membuat mereka merasa bersalah jika bicara. Mereka takut dicap membuka aib suami, takut anak-anak dijauhi, takut keluarga menyalahkan mereka karena memilih keluar dari “rumah tangga”.
Tak jarang, mereka dibungkam dengan kalimat-kalimat seperti: “Namanya juga rumah tangga, pasti ada cekcok”, atau “Sabar, nanti juga suami berubah.” Kalimat itu, meski tampak seperti nasihat, sering kali justru menjadi pagar tinggi yang mengurung perempuan di dalam relasi yang menyakitkan. Dalam diam, mereka mengalah. Dalam diam, mereka merawat luka. Tapi diam bukan berarti rela.
Lebih menyedihkan lagi, perempuan yang akhirnya bersuara sering kali malah dikucilkan. Alih-alih mendapat dukungan, mereka disudutkan sebagai sumber keretakan, dianggap mencemarkan nama keluarga, bahkan dilabeli sebagai perempuan “tidak bersyukur”. Ini adalah bentuk kekerasan kedua, kekerasan sosial yang melanggengkan penderitaan perempuan atas nama adat, kesopanan, dan norma keluarga.
Perlindungan Hukum Bukan Sekadar Tulisan
Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang secara tegas menyatakan bahwa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran dalam rumah tangga adalah tindak pidana. Hukum memberikan ruang bagi istri, bahkan juga anak dan anggota keluarga lainnya, untuk melaporkan dan mendapatkan perlindungan. Tapi permasalahannya sering kali bukan pada teks hukum, melainkan pada kenyataan sosial yang membuat perempuan enggan bersuara.
Banyak korban KDRT tidak tahu bagaimana atau ke mana harus melapor. Bahkan saat mereka tahu, tidak sedikit yang khawatir pada proses hukum yang panjang, atau takut pada ancaman dari pelaku yang justru masih serumah. Pada titik ini, dibutuhkan bukan hanya hukum yang tegas, tetapi sistem perlindungan yang ramah korban, yang menjamin keamanan, pendampingan, dan dukungan psikologis sejak langkah pertama mereka keluar dari kekerasan.
Hukum memang bisa menghukum pelaku, tetapi proses menuju keadilan sering kali berliku dan penuh trauma. Untuk itu, penegak hukum, lembaga perlindungan perempuan, hingga pengadilan, perlu membangun ruang yang lebih empatik, bukan hanya mengurus berkas perkara, tapi juga menyentuh luka korban yang tak terlihat dalam dokumen resmi.
Saatnya Kita Mendengar dan Tidak Menghakimi
Masyarakat perlu belajar mendengar. Bukan untuk mencari sensasi, tapi untuk menjadi tempat aman. Karena terkadang, satu telinga yang benar-benar ingin mendengar bisa menjadi jembatan antara perempuan yang diam dengan keberaniannya untuk bertindak.
Kita harus berhenti bertanya, “Kenapa baru sekarang lapor?”, atau “Kenapa tidak dari dulu pergi?” Pertanyaan yang benar adalah: “Apa yang bisa kita lakukan agar ia tak merasa sendirian?” Karena dalam banyak kasus, keberanian korban untuk bicara bukan datang dari kekuatan dirinya semata, tapi juga dari rasa percaya bahwa ketika ia bicara, akan ada orang yang percaya dan membantunya keluar dari lingkaran itu.
Karena sejatinya, korban bukan butuh diadili atas waktunya menyuarakan luka, tapi dihargai atas keberaniannya mengakui luka itu. Tugas kita bukan menilai apa yang sudah ia alami, tapi hadir sebagai ruang aman ketika ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari sunyi yang menyiksa.

Website Mahkamah Agung Republik Indonesia
Website Badilag
Website Pengadilan Tinggi Pekanbaru
Website Kejaksaan Tinggi Riau
Website Pemeritah Provinsi Riau
JDIH Mahkamah Agung
SIWAS Mahkamah Agung
Portal LIPA PTA Pekanbaru

