Oleh:

Faried Almaas, S.H.
Analis Perkara Peradilan PA Dumai

 

Pendahuluan

          Perceraian tak pernah mudah, bukan hanya bagi dua orang dewasa yang memutuskan untuk berpisah, tetapi terutama bagi mereka yang tak pernah diminta memilih, yaitu anak-anak. Di ruang sidang, hak asuh seringkali dibahas dalam bahasa yang dingin dan prosedural. Siapa yang lebih layak, siapa yang punya penghasilan lebih stabil, siapa yang lebih sering menemani. Semua disusun dalam berkas gugatan, disampaikan lewat argumentasi hukum. Tapi di luar ruang sidang, ada hati kecil yang bingung, ia hanya ingin tetap dicintai, tak diperebutkan seperti barang bukti.

            Yang menyedihkan, banyak anak akhirnya tumbuh dengan beban yang tidak mereka pahami, mereka menjadi semacam "barang bukti emosional" dalam pertikaian dua orang yang dulu saling mencintai. Kadang tanpa sadar, mereka ditarik ke sisi salah satu orang tua, dijadikan alasan, pembenaran, bahkan tameng untuk saling menyalahkan. Dan yang paling menyakitkan, tak jarang mereka merasa bersalah atas keputusan yang bukan mereka buat.

          Perceraian memang urusan hukum, tapi anak bukan sekadar bagian dari berkas perkara. Mereka adalah manusia kecil yang sedang belajar memahami dunia, dan layak dilindungi, bukan diperebutkan.

Aspek Yuridis

          Secara hukum, urusan pengasuhan anak pasca perceraian atau yang dikenal sebagai hadhanah memang telah diatur cukup rinci. Pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa setelah perceraian, baik ayah maupun ibu tetap memikul kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka. Ini berarti, meskipun hubungan suami-istri telah berakhir, tanggung jawab sebagai orang tua seharusnya tetap berjalan berdampingan, bukan saling menjauh atau saling rebut.

          Dalam praktiknya, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, berlaku juga ketentuan yang bersumber dari hukum Islam. Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pedoman bahwa anak yang belum mencapai umur 12 tahun atau belum mumayyiz, pada umumnya diasuh oleh ibunya. Kecuali jika terdapat alasan kuat bahwa sang ibu tidak mampu atau tidak layak secara hukum maupun moral. Setelah anak mencapai usia mumayyiz, ia diberikan hak untuk memilih, kepada siapa ia ingin tinggal.

          Lebih jauh, dalam banyak putusan, pertimbangan hakim kerap fokus pada aspek ekonomi, siapa yang lebih mampu secara finansial, siapa yang punya tempat tinggal tetap, atau siapa yang lebih “stabil” secara sosial. Tentu hal ini penting, tapi bagaimana dengan faktor psikologis? Bagaimana dengan hubungan emosional antara anak dan orang tuanya? Atau bagaimana dengan trauma yang mungkin dialami anak selama proses perceraian?

          Hukum memang tidak bisa menjangkau seluruh perasaan, ia beroperasi dalam batasan norma dan bukti. Namun di balik semua prosedur itu, ada realitas yang sering tak tertulis, bahwa anak bukan perkara logistik, bukan urusan menang-kalah. Mereka adalah jiwa yang sedang tumbuh, dan keputusan tentang mereka semestinya tidak hanya didasarkan pada syarat formal, tetapi juga pada rasa keadilan, rasa kasih, dan rasa tanggung jawab sebagai orang tua maupun sebagai negara.

          Maka, pertanyaan besarnya bukan hanya “siapa yang layak mendapat hak asuh?”, tetapi “apakah keputusan itu betul-betul mengutamakan kebahagiaan dan tumbuh kembang anak?” Jika tidak, maka hukum telah gagal menyentuh inti dari keadilan itu sendiri.

Luka yang Tak Terlihat

          Tidak semua luka meninggalkan memar di kulit, beberapa justru menetap dalam diam, menempel di ingatan dan tumbuh bersama waktu. Seperti luka yang dialami anak-anak saat orang tuanya saling menjauh, tapi tak benar-benar pergi. Mereka tetap hadir, namun kini saling bermusuhan. Dalam konflik itu, anak sering kali berada di tengah, bukan sebagai pihak yang perlu dilindungi, tetapi sebagai alat ukur siapa yang lebih benar atau siapa yang lebih berhak.

          Di banyak kasus, perebutan hak asuh berubah menjadi perang yang tak lagi soal cinta kepada anak, tapi tentang luka yang belum selesai antara dua orang dewasa. Anak dijadikan bukti pengabdian, kartu balas dendam, bahkan taruhan harga diri. Ada ayah yang tiba-tiba aktif karena ingin memenangkan hak asuh, bukan karena ingin benar-benar hadir. Ada pula ibu yang mengungkit pengorbanan demi menuntut loyalitas penuh dari anak. Di antara semua itu, anak hanya ingin satu hal yang sederhana: dicintai, tanpa harus memilih.

          Hakim bisa memutuskan hak asuh, tapi ia tidak bisa menjamin bahwa anak akan tumbuh tanpa rasa kehilangan. Putusan bisa memastikan tempat tinggal, jadwal kunjungan, dan kewajiban nafkah, tapi siapa yang bisa memastikan bahwa pelukan akan tetap hangat? Bahwa anak tidak merasa menjadi beban? Atau bahwa ia tidak dijadikan tameng untuk menyakiti satu sama lain?

          Yang lebih menyedihkan lagi, banyak luka itu tidak akan pernah dicatat dalam berita acara sidang oleh Panitera Pengganti. Tidak masuk ke dalam pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim. Tapi dampaknya jauh lebih panjang, anak yang terbiasa melihat pertengkaran, dibanjiri rasa bersalah, atau dipaksa membenci salah satu orang tuanya, akan membawa luka itu ke masa depannya sendiri, ke caranya mencinta, mempercayai, dan membangun hubungan kelak.

          Luka seperti ini tidak tampak di permukaan, tapi nyata. Dan sayangnya, sistem hukum kita belum sepenuhnya punya ruang untuk melihatnya.

Refleksi Akhir

          Barangkali yang perlu kita ubah bukan hanya aturan atau prosedur, tetapi cara kita memandang anak dalam proses perceraian. Karena selama ini, sering kali hak asuh dimaknai sebagai kepemilikan. Seolah anak adalah barang, yang bisa “dimenangkan” oleh siapa yang lebih kuat argumennya, atau lebih banyak buktinya. Padahal, anak bukan trofi. Ia bukan alat negosiasi, bukan bukti siapa yang lebih menderita, dan bukan pihak yang bisa ditarik ke mana-mana demi membenarkan pilihan orang dewasa.

          Anak adalah manusia kecil yang sedang tumbuh. Mereka butuh rumah yang aman, pelukan yang tidak berubah meskipun status orang tuanya telah berubah. Mereka butuh rutinitas sederhana yang menenangkan, seperti diajak sarapan, jalan-jalan sore, dibacakan cerita sebelum tidur, atau cukup tahu bahwa tidak harus kehilangan keduanya hanya karena ayah dan ibu tak lagi bisa bersama.

          Mungkin kita perlu bertanya ulang, apa arti menjadi orang tua setelah perceraian? Apakah itu berakhir di sidang, atau justru baru dimulai? Menjadi orang tua bukan tentang siapa yang menang hak asuh di atas kertas, tapi siapa yang masih hadir di hari ulang tahun anak, siapa yang tetap menjemput saat ia jatuh sakit, dan siapa yang menguatkan saat anak merasa terbelah dua oleh kenyataan.

          Karena luka dalam diri anak sering kali tidak bersuara, ia tumbuh dalam bentuk ketakutan akan kehilangan, kecemasan yang sulit dijelaskan, atau keengganan untuk percaya pada siapa pun. Dan luka seperti itu tak sembuh hanya dengan waktu, apalagi dengan putusan pengadilan, ia butuh ruang untuk dipulihkan, ruang yang hanya bisa diciptakan oleh dua orang dewasa, yang meski tak lagi bersama, masih cukup dewasa untuk tetap memikirkan satu hal bersama: kebahagiaan anak mereka.

          Mungkin kita tak bisa menghindari semua perpisahan. Tapi kita selalu punya pilihan untuk tidak menambah luka pada mereka yang bahkan belum tahu apa arti kehilangan itu sepenuhnya.